'Kami' di Tengah Kesendirian Shalat

Foto Catatan Cak AT
×

'Kami' di Tengah Kesendirian Shalat

Bagikan opini
Ilustrasi 'Kami' di Tengah Kesendirian Shalat

Maka, sungguh ironis jika ada orang yang merasa sombong dalam ibadah. Lebuh ironis lagi, di saat manusia modern begitu bangga dengan "kebebasan individu", dalam shalat dia malah mewakili lautan makhluk mikroskopis yang bahkan tidak dia sadari keberadaannya.

Hei, bahkan shalatmu itu dibantu oleh sekian triliun makhluk Allah yang kamu bahkan tidak tahu nama-namanya! Seorang Muslim yang shalat sebenarnya sedang mengajukan deklarasi: _Ya Allah, aku dan semua yang ada di tubuhku ini, semua bagian diriku yang Kau ciptakan, bersujud kepada-Mu._

Tentu, tetap ada aspek lain. "Kami" juga adalah isyarat bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Dalam agama, dalam sosial, dalam dunia nyata — manusia itu makhluk berjamaah. Atau, makhluk sosial, kata Ibnu Khaldun dalam kitab _Muqaddimah_, karya monumentalnya.

Allah menyuruh shalat berjamaah, memerintahkan ukhuwah, melarang berpecah-belah. Di Akhirat memang hitungan amal itu personal, tapi jalan menuju ke sana adalah perjalanan berombongan. Allah menuntun kita shalat berjamaah, dengan diberi pahala berlipat 25.

Seorang Muslim hidup dalam dunia "kami", bukan "aku" — sebuah kesadaran yang sering diabaikan. Bahkan saat shalat sendirian, dia sebetulnya tidak sendirian. Ini untuk mengingatkan: jangan egois. Jangan jadi manusia yang mengira dirinya sukses sendirian.

Jangan jadi hamba yang merasa tidak butuh yang lain. Kita butuh Allah, kita butuh sesama, dan secara literal: kita butuh seluruh isi tubuh kita. Bayangkan kalau satu sel sarafmu mogok kerja hari ini —selesai sudah khutbah panjangmu soal tauhid itu.

Dan di sinilah titik refleksinya: Kalau kita sadar bahwa tubuh kita bukan cuma "milik pribadi" melainkan "ekosistem anugerah Allah", sungguh berdosa rasanya kalau kita tidak peduli padanya, bahkan seringkali tanpa sadar dan sembarangan kita merusak dan menyakitinya.

Setiap kebiasaan buruk —merokok, bergadang, stres berlebihan, makan junk food tiap malam— bukan cuma menyiksa diri sendiri, tapi juga menyakiti triliunan makhluk ciptaan Allah yang membersamai hidup kita. Ya Allah, ampuni dosa hamba atas dosa berkepanjangan ini.

Bayangkan, seekor bakteri kecil di usus, yang sepanjang hidupnya dengan sabar membantu kita memproses makanan, akhirnya mati sia-sia karena kita keasyikan minum soda bergalon-galon. Tanpa sadar kita membunuh bakteri-bakteri itu dengan minum obat beracun.

Maka, menjaga tubuh adalah bagian dari ibadah. Merawat diri adalah bentuk syukur. Menghargai "kami" dalam diri adalah bagian dari penghambaan kepada Sang Pencipta. Karena kami itu nyata, hidup, dan turut bersujud bersama kita —dalam setiap napas, dalam setiap gerak, dalam setiap doa.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini