Oleh Khairul JasmiDoktor Ilmu Pertahanan, Universitas Pertahanan RI, Hasto Kristiyanto, lewat tulisannya di kolom ini, berjudul "Eksisten Geopolitik Soekarno," menyambung kegelisahan kita bersama melalui pertanyaan, "Mengapa dari Bumi Minang ini lahir begitu banyak tokoh pemimpin kebangsaan dengan rekam jejak kepeloporannya yang luar biasa bagi bangsa dan negara Indonesia, dan dunia. Pertanyaan inilah yang juga harus dijawab secara obyektif oleh kita semua."
Kalimat yang tak ada dalam tulisannya adalah," mengapa sekarang tidak demikian lagi? " Maka saya ajukan pertanyaan itu, sekaligus jawabannya sepanjang yang saya pahami, sbb:Saya beri satu sosok yang hebat, Haji Agus Salim. Tokoh kita ini, adalah jebolan pendidikan sekolah Belanda dan menjadi pelajar yang hebat. Ayahnya, orang terdidik dan menjadi jaksa. Ayahnya itu, beradik kakak dengan ayah imam besar Masjidil Haram, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Syekh ini, waktu kecil belajar di Sekolah Raja, Fort de Kock, sekarang Bukittinggi.
Agus Salim kemudian mendapat tugas sebagai staf konsul Hindia Belanda, di Jeddah. Ketika bertugas di Jeddah itulah, ia tiap sebentar ke Mekkah, belajar agama Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang menguasai hampir semua ilmu agama Islam. Tokoh ini juga sangat kritis pada Belanda. Maka, jadilah Haji Agus Salim, seperti yang kita baca sejarahnya. Khatib menyebutkan, kalau Agus Salim sudah hebat dalam ilmu umum, maka saatnya mengisi kepala dengan agama. Hatta, dari rumah kakeknya di Aua Tajungkang, tak jauh dari Jam Gadang, sore dan malam belajar agama pada Syekh Jamil Jambek. Beliau murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Di Minangkabau, setelah Perang Paderi atau sejak 1850-an sampai 1930-an, muncul sekolah-sekolah Belanda. Di daerah lain ditolak, di sini diterima. Banyak sekali orang Minang yang lulus sekolah Belanda. Banyak pula yang ke Belanda melanjutkan pendidikan, sesuai kemauan masing-masing. Anda tinggal mencari saja di buku atau google, nama-nama itu akan bertemu sebagian, sebagian lain, cari lebih dalam, akan bersua. Misalnya, penemu terjemahan yang kemudian dikenal sebagai kata yang menghipnotis, "Habis Gelap Terbitlah Terang," sebagai judul buku Ra. Kartini. Membaca catatan Dr Suryadi, ternyata yang menerjemahkan naskah asli adalah Baginda Abdullah Dahlan, Bagindo Zainuddin Rasad, Bagindo Djamaloeddin Rasad dan keempat Soetan Moehammad Zain (ayah alm Harun Zain). Itu salah satu contoh. Kembali ke sekolah Belanda, bukan hanya Sekolah Raja atau Kweekschool, tapi banyak lagi yang lain. Lembaga pendidikan ini melahirkan pemikir hebat, suka berdiskusi dan berdebat serta menulis. Hampir semua tokoh itu, wartawan atau penulis atau dua-duanya.
Suasana sekolah itu, memicu kesadaran kolektif, maka di banyak desa/nagari ada beasiswa untuk anak nagari. Jika sudah sukses kelak, bayar kembali. Tan Malaka hendak sekolah, dirapatkan dulu di kaumnya. Selain sekolah, hubungan antar kota di Minangkabau sejak akhir perang menjadi lancar, karena Belanda memperluas jalan setapak, jalan dagang dan bahkan membangun jaringan rel kereta api. Ini otomatis memudahkan gerak rakyat ke kota, ke lembaga pendidikan.
Sementara itu, anak-anak yang tak bisa sekolah, didapat laporan, memanfaatkan gudang-gudang kopi besar dan kecil, untuk "belajar." Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, kondisinya sama, di Minangkabau orang banyak bersekolah, sedang di hampir semua tempat lain di Hindia Belanda, belum. Pendidikan surauPemicu kedua atau bahkan pertama sebenarnya, kenapa orang Minang doeloe hebat, sekarang tidak, adalah surau. Surau, yang berusaha "disesatkan" Belanda, dibela habis-habisan oleh para ulama. Data yang saya dapat dari catatan Apria Putra Angku Kalis, menunjukkan, terdapat beberapa surau terkemuka di Minangkabau menjadi titik-titik penting dalam bilangan ratusan tahun ke depan, setelah surau itu berdiri.
Pada tahun 1868, surau-surau berpengaruh itu, mulai dari Surau Taram, dekat Payakumbuh, punya murid sekitar seribu orang. Seribu, bukanlah bilangan kecil. Berikut ada surau Cangkiang, di Balai Gurah, muridnya sekitar 400 orang, disusul Surau Pasia di Kawasan Ampek Angkek Canduang, dengan murid sekitar 300 orang. Lantas surau Labuah, di Tanah Datar dengan 200 murid, surau Padang Gantiang juga di Tanah Datar dengan murid 100 orang. Surau Simabua, 200 murid, surau Pangian di Solok dengan 100 murid. Ada lagi surau di Muaro Paneh Solok dengan murid 150 orang, Koto Anau 200 murid, Saniang Baka, Solok 150, Singkarak 100, serta surau Calau di Sijunjung dengan 400 murid. Berikut di Padang Sibusuak, nagari yang bersejarah itu, punya surau dengan murid 150 orang. Sebuah surau di Tara, sehabis Perang Paderi muridnya 1.000 orang.
Perdebatan Kaum Tua dan Muda di Minangkabau berpengaruh luas pada cara pikir, apalagi kemudian bermunculan koran dan majalah dari surau-surau di daerah ini. Ulama-ulama jebolan Mekkah menulis secara tetap. Lalu muncullah Padang Panjang dengan Surau Jembatan Besi yang kemudian jadi Sumatera Thawalib bersama Surau Parabek, surau di Padang Japang, yang kelak berubah nama Perguruan Islam Darul Funun. Sebelumnya ada Diniyyah School, ada Adabiah. Ada Madrasah Tarbiyah Canduang, Jaho dan lainnya. Ada Arabia School di Ladang Laweh. Semua ulama pemilik Thawalib dan Tarbiyah, gurunya sama dengan guru Agus Salim yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Hampir 90 persen ulama besar di sini, memang murid imam besar Masjidil Haram itu.
Kemudian muncul Diniyyah Puteri pada 1923, sekolah klasikal muslimah pertama di Indonesia. Anda deret-deret sajalah pejuang perempuan Minang, maka 90 persen pula lulusan Diniyyah Puteri, salah satunya, Rasuna Said, perempuan 23 tahun yang dilambai ribuan orang dengan takzim tatkala ia dibawa kapal ke Semarang bersama Rasimah Ismail. Dua gadis belia ini ini dilepas dari Teluk Bayur pada 1932."Rasuna Said tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum speek delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda," demikian dilaporkan koran Bintang Timoer edisi 1 Desember 1932.