Analis Unas: Sistem Proporsional Tertutup Ideal untuk Indonesia

×

Analis Unas: Sistem Proporsional Tertutup Ideal untuk Indonesia

Bagikan berita
Foto Analis Unas: Sistem Proporsional Tertutup Ideal untuk Indonesia
Foto Analis Unas: Sistem Proporsional Tertutup Ideal untuk Indonesia

 JAKARTA - Analis politik dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan sistem pemilihan umum (Pemilu) proporsional tertutup lebih ideal diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka. Semua pertimbangan, termasuk kondisi geografis, jumlah penduduk, kemajemukan suku bangsa maupun agama, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, menjadi dasar bagi para pendiri bangsa menerapkan sistem proporsional tertutup pada Pemilu pertama 1955.

“Para pendiri bangsa sudah mempertimbangkan dari segala aspek, sistem proporsional tertutup dianggap paling pas untuk kondisi Indonesia,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, Selamat Ginting kepada wartawan di Jakarta, Senin (29/5).Selamat Ginting mengungkapkan hal itu terkait uji materiil UU Pemilu soal sistem proporsional terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan beredar ‘bocoran’ seperti dikemukakan Prof Dr Denny Indrayana yang menyebutkan MK akan mengembalikan ke sistem proporsional tertutup.

Namun, menurutnya, apabila sistem pemilu diubah, jangan sampai dimanfaatkan oleh penumpang gelap untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024 yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Apalagi tahapan pelaksanaan Pemilu sudah berlangsung sejak awal 2022 lalu.  Jika perubahan sistem Pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup dilakukan untuk menunda Pemilu, maka akan menimbulkan instabilitas politik.“Saya tidak dalam kapasitas mendukung partai tertentu atau fraksi tertentu, tapi mengacu kepada sejarah awal para pendiri bangsa menetapkan sistem pemilu 1955. Tentu saja ada pro dan kontra, namun ini pendapat akademis,” ungkap Ginting mengingatkan.

Menurutnya, jika memang ternyata ada perubahan sistem Pemilu legislatif dari sistem proposional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup, masih bisa dilakukan saat ini, karena Pemilu akan dilakukan Februari 2024 mendatang. Masih ada waktu sekitar tujuh bulan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempersiapkannya.Ia mengingatkan masalah seperti ini, bukan baru pertama kali terjadi. Sebab pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun, empat bulan menjelang pelaksanaan Pemilu 2009, sistem Pemilu diubah hasil dari uji materiil di MK, dari sistem proporsional tertutup menjadi terbuka.

“Saat itu tidak ada kekacauan politik. Mengapa sekarang SBY khawatir terjadi kekacauan politik? Nyatanya pada Pemilu 2009 era Presiden SBY tidak ada kekacauan politik,” ujar Ginting menanggapi kekhawatiran SBY yang disampaikan kepada wartawan.Seperti Amandemen

Selamat Ginting menyamakan soal amandemen UUD 1945 yang dilaksanakan pada 2002. Sekarang masyarakat menyadari, ternyata banyak mudarat dari sejumlah amandemen UUD 1945 menjadi UUD aspal (asli tapi palsu) alias UUD 2002. Begitu juga dengan sistem pemilu proporsional terbuka, terakhir pada Pemilu 2019 menyebabkan hampir 900 orang petugas pemungutan suara (PPS) meninggal dunia.Menurutnya, fakta membuktikan Pemilu 1955 yang dilakukan dengan sistem proporsional tertutup justru menjadi pemilu paling demokratis dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Di situ ada etika, moral, serta agama yang diyakini penyelenggara pemilu, partai politik peserta pemilu, serta pemilih dalam menentukan partai politik sebagai institusi aspirasi politik masyarakat.

“Pemilu 1955 dengan sistem proporsional tertutup bukan hanya ajang untuk kontestasi meraih kekuasaan melalui partai politik belaka. Lebih dari itu dibarengi dengan etika moral agama, sehingga menutup peluang untuk berlaku tidak jujur.,” kata kandidat doktor ilmu politik itu.Dikemukakan, pemilu itu alat pendidikan politik bagi masyarakat. Oleh karena itu mestinya calon-calon wakil rakyat adalah orang-orang terdidik, setidaknya lulusan perguruan tinggi. Sekaligus membuka peluang bagi para dosen, guru, peneliti yang tidak memiliki kemampuan finansial, bisa berkiprah menjadi wakil rakyat melalui sistem proporsional tertutup.

Melalui sistem proporsional tertutup, lanjutnya, partai politik punya kewenangan untuk menempatkan orang-orang terdidik di urutan atas alias dapat nomor peci, bukan nomor sepatu. Jadi walau pun sistem proporsional tertutup, namun tetap ada urutan daftar tetap calon anggota DPR/DPRD.“Tapi elite partai politik jangan sembarangan bertindak seolah-olah sebagai raja menggantikan oligarki kapitalis yang menitipkan orang-orang tertentu seperti sistem proporsional terbuka,” ujar Ginting.

Kesalahan Pemilu 2019Mestinya, kata dia, elite negeri belajar dari kesalahan Pemilu 2019 lalu, sebagai salah satu Pemilu yang menggunakan sistem proporsional terbuka dengan predikat terburuk dalam sejarah Pemilu Indonesia. Buktinya, hampir 900 orang PPS meninggal dunia.

“Siapa yang bertanggung jawab atas kematian hampir 900 orang PPS? Betapa beratnya petugas pemungutan suara untuk menghitung perolehan suara dari masing-masing calon anggota parlemen DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Berapa banyak partai peserta Pemilu? Berapa banyak calon dari masing-masing partai politik? Berapa banyak daerah pemilihan? Belum lagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dari 34 provinsi saat itu,” kata Ginting.Diungkapkan, jika Pemilu 2024 tetap dilakukan dengan sistem proporsional terbuka sekaligus secara serentak untuk memilih Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota, maka kemungkinan korban petugas pemungutan suara akan semakin bertambah lagi bisa lebih dari 1.000 orang yang meninggal dunia. Sehingga Indonesia akan dicap sebagai negara paling buruk dalam penyelenggaraan Pemilu, karena banyaknya anggota PPS yang meninggal dunia.

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini