Pada 1928, berdirilah Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) di Canduang Koto Laweh, Agam. Pendirinya Syekh Sulaiman Arrasuli, yang disapa Inyiak Canduang. Hampir semua ulama Minang zaman lampau, meski sudah meninggal, masih saja memberi nafkah pada pendahulunya, berupa royalti buku atau sekolah. Apalagi ilmu.
Lembaga ini telah memainkan peran penting dalam perkembangan pendidikan dan kehadiran ulama di Minangkabau sejak 1930-an hingga sekarang. Alumninya tersebar di berbagai bidang, menjadi sarjana doktor dan profesor, menjadi praktisi dan orang berpengaruh.
Menurut salah seorang alumni, Dr. Khairul Fahmi, “MTI Canduang sebagai lembaga pendidikan yang didirikan Inyiak Canduang yang juga pendiri Perti merupakan salah satu pondasi penjaga paham ahlussunnah waljamaah di Indonesia, khususnya Ranah Minang. Pendidikan Agama Islam yang diajarkan dengan juga mengadopsi kurikulum nasional menempatkan MTI Canduang sebagai lembaga pendidikan yang menjadi pilar penopang usaha pencapaian tujuan negara mencerdaskan kehidupan bangsa.”
MTI Canduang kata dia, dalam perjalanannya juga tidak jarang didera gelombang ujian yang tidak mudah. Berbagai ujian yg dihadapi seharusnya dapat menjadi batu loncatan untuk MTI bisa lebih maju lagi dalam membangun manusia-manusia mumpuni yang dapat menebar manfaat bagi kepentingan nasional Indonesia dan agama Islam.
Sementara itu, pendapat lain menyebutkan, “sebagaimana dicatat sejarah, MTI adalah lembaga pendidikan Islam yang telah berperan signifikan dalam perkembangan pendidikan di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat. MTI dikenal dengan sistem pendidikan yang mengintegrasikan ilmu agama dan umum, serta memiliki sejarah panjang dalam pembaruan sistem pendidikan Islam,” kata Guru Ma'had Aly Syekh Sulaiman Arrasuli (MASSA), MTI Canduang, Dr. Zulkifli kepada Singgalang, Senin (25/03/2025).
Lalu bagaimana kini lembaga pendidikan itu? Sebenarnya MTI terbuka atas pembaruan, dimulai dengan menerapkan sistem klasikal di awal-awal zamannya, tatkala Kaum Muda gencar membangun sekolah serupa sebelumnya.“Kurikulum dibagi menjadi tujuh tingkatan sesuai dengan kitab yang dipelajari, dan sistem halaqah tetap dipertahankan pada sore hari bagi masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan formal di madrasah,” kata Zulkifli pula. Di awal berdirinya MTI, bermunculan madrasah serupa di Minangkabau. Misalnya, MTI Jaho. Didirikan Syekh Muhammad Djamil atau Inyiak Jaho, madrasah ini beralih dari sistem halaqah ke sistem klasikal dengan jenjang kelas. Perubahan ini menandai pembaruan metode pendidikan Islam di Minangkabau dan melahirkan MTI-MTI lain di Minangkabau, bahkan sampai ke daerah lain seperti Palembang dan Jawa, tepatnya di Mojokerto.
“Beberapa MTI melakukan inovasi dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI). Misalnya, di MAN 1 Mojokerto, dilakukan inovasi dengan memadukan teknologi maju dalam pembelajaran, sehingga siswa dapat mengakses informasi dengan mudah dan cepat, serta mengintegrasikan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan sehari-hari,” kata Zul lagi.
Secara umum, MTI terus berupaya meningkatkan kualitas pembelajaran dengan menyesuaikan metode dan kurikulum sesuai perkembangan zaman, serta tetap mempertahankan nilai-nilai keislaman yang menjadi dasar pendidikan mereka.
Editor : Eriandi