Oleh Isral NaskaDosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Delegasi AIMEP (Australia Indonesia Muslim Exchange Program)“Briefing” di Kedubes Australia
Dalam jadwal kegiatan AIMEP November 2023, sebenarnya tidak terdapat agenda “briefing” di kedutaan besar Australia di Jakarta. Pemberitahuan lewat email baru muncul beberapa hari sebelum jadwal keberangkatan, dikirim oleh seseorang petugas yang di kemudian hari kami kenal dengan panggilan Pak Sulis.Maka lewat tengah hari, kira-kira jam satu siang, seluruh peserta AIMEP yang akan berangkat ke Australia telah berkumpul di depan gerbang kedutaan, yang menurut saya lebih tepat disebut sebagai pintu masuk. Ya, itu benar-benar sebuah pintu, tapi terbuat dari logam; membuatnya tidak bisa disebut sebagai pintu biasa.
Kembali lagi ke peserta AIMEP. Jumlah kami semuanya adalah 18 orang. Awalnya kita mengikuti AIMEP secara online pada tahun 2021. Lalu beberapa peserta, khususnya yang tinggal di pulau Jawa memutuskan bertemu pada beberapa kesempatan setelah pembatasan Covid 19 perlahan diangkat. Saya sendiri dan segelintir yang tinggal di pulau-pulau lain baru saat itu pertama kali bertemu. Kesanku pribadi, mereka adalah orang-orang luar biasa yang ramah dan akrab. Persis seperti kesan ketika berjumpa lewat platform zoom, tiga hari seminggu selama dua bulan.Setelah melewati screening keamanan berlapis, kita akhirnya masuk ke dalam lingkungan kedutaan. Lingkungan di dalam sana sangat unik dari suasana luar; ruang hijau, bangunan, dan jalan lingkungan ditata secara apik memberikan kesan berbeda. Di kemudian hari saya baru menyadari bahwa tata letak lingkungan kedutaan mirip dengan suasana fasilitas publik dua kota Australia yang kami kunjungi. Mereka benar-benar membawa Australia ke Jakarta.
Sebelum masuk ruang “briefing” kami melewati sebuah lorong yang pada dindingnya digantung beberapa informasi menarik. Umumnya tentang sejarah hubungan kedua negara. Di situ saya lihat foto beberapa frame koran yang menunjukkan dukungan masyarakat Australia terhadap kemerdekaan Indonesia. Saya pernah baca dari sumber internet, peristiwa itu disebut “Black Armada”. Juga ada foto kedatangan rombongan pertama mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studi di Australia.Sekarang saatnya masuk ruang “briefing”. Tepat pukul 2 siang, seorang petugas kedutaan, orang Australia, memulai pertemuan. Beliau memperkenalkan diri sebagai Amanda. Ia langsung mempersilahkan kami untuk mencicipi hidangan yang telah disiapkan. Ada kopi dan teh, lalu camilan gorengan, ditambah pudding coklat. Semua terasa lezat.
Suasana berubah menjadi cair. Acara dimulai oleh beberapa petugas Indonesia secara santai. Ada juga perbincangan informal di sela-sela itu. Misalnya kami diberi tahu bahwa keberangkatan peserta AIMEP tahun ini istimewa karena langsung diberangkatkan dalam rombongan besar, yang mana tahun-tahun sebelumnya dibagi menjadi beberapa rombongan kecil. Lalu juga diberi tahu bahwa kami adalah rombongan yang beruntung, karena tidak semua program exchange ketika covid-19 yang berhasil memberangkatkan orang Indonesia ke Australia.Suasana akrab dan nuansa bersyukur tidak menghilangkan pertanyaan dalam kepala, “briefing” seperti apa yang akan mereka berikan kepada kami. Dan rupanya itu langsung terjawab setelah beberapa menit Amanda memulai pembicaraan.Pertama-tama, perempuan cerdas itu mengatakan “welcome to Australian soil in Jakarta”. Wah, kalau ini saya setuju. Secara hukum memang demikian. Beberapa hari kemudian, setelah datang ke Australia, saya dapat memahami, bahwa mereka benar-benar memindahkan nuansa mentalitas Australia ke Jakarta. Jadi ini benar-benar tanah Australia lahir dan batin. Lahirnya menurut hukum yang berlaku, batinnya kembali ke persoalan tata ruang tadi.Dan Amanda juga mengatakan “it is a largest Australian embassy in the world”. Oh ya? Saya baru tahu. Belum sempat bertanya kenapa, dia mengatakan “Indonesia is the biggest neighbor in the region”. Sampai di sini saya paham, tetangga besar dimana begitu banyak urusan kait mengait, memang perlu diperlakukan khusus, yaitu dengan membangun kedutaan besar terbesar. Ini menunjukkan begitu penting Indonesia di mata Australia.
Namun saya tetap bertanya-tanya; briefing-ya seperti apa ya?Berikutnya Amanda mengulas sejarah hubungan Indonesia Australia. Misalnya dia menggarisbawahi bahwa pemerintah Australia telah menyediakan beasiswa pendidikan bagi WNI selama lebih kurang 70 tahun. Sekarang, salah satu program beasiswa yang paling dikenal masyarakat adalah AAS (Australia Award Scholarship), sebuah beasiswa yang dikelola oleh lembaga negara Australia bernama Department of Foreign Affairs and Trade. Program AIMEP juga didanai oleh lembaga negara yang sama selama lebih dari 20 tahun, yaitu sejak tahun 2002.
Tentu terbit pertanyaan dalam kepala, kenapa negara itu mau menganggarkan dana untuk warga Indonesia untuk mengikuti program AIMEP. Salah satu informasi tentang itu, yang paling akurat sejauh ini tertera langsung dalam website Department of Foreign Affairs and Trade bahwa program ini memiliki dua tujuan. Bagi peserta WN Australia, program ini bertujuan untuk memperkenalkan pengamalan Islam ala Indonesia. Bagi peserta WN Indonesia, program ini didesain agar peserta mengenal kondisi sosial masyarakat Australia yang sangat multikultural. Ulasan lebih dalam tentang AIMEP dapat kita bahasa pada bagian tersendiri nantinya.Ok. Kembali lagi ke soal “briefing”, yang mana saya sendiri masih penasaran. Maka kata-kata Amanda berikutnya ditunggu baik-baik.
Kata Amanda, dia menyukai orang-orang Indonesia karena sangat mudah tersenyum. Ini bukan pertama kali saya mendengar pujian orang asing untuk kita. Memang sependek pengalaman saya, kita sangat mudah tersenyum dibandingkan dengan, utamanya orang-orang bule. Saya sering mengamati, orang Indonesia bisa tersenyum saaat membicarakan sebuah topik. Sementara sangat-sangat jarang orang asing akan tersenyum membicarakan topik yang sama. Entahlah kenapa bisa begitu. Kembali lagi ke pujian Amanda tentang senyuman itu, semua peserta termasuk saya tersenyum lebar mendengarnya.Menjadi manusia yang mudah tersenyum di tengah kondisi ekonomi tidak sebaik negara maju seperti Australia memang menarik didiskusikan. Jika senyum memiliki relasi erat dengan kondisi ekonomi, orang Australia seharusnya lebih mudah tersenyum dibandingkan kita. Apakah ada hubungannya dengan relijiusitas? Tentu perlu riset mendalam akan hal ini. Sebagai informasi saja, Pew Research Center memang mencatat penduduk Indonesia sebagai kelompok manusia yang paling relijius di muka bumi. Apakah menjadi relijius artinya lebih mudah tersenyum?