Oleh: Isral Naska
Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera BaratDelegasi AIMEP (Australia Indonesia Muslim Exchange Program)
Penerbangan masih jam 11.55 malam, sementara delegasi sudah sampai di Soekarno-Hatta sejak senja menjelang. Artinya ada beberapa jam waktu luang.Kesempatan itu saya manfaatkan untuk lebih mengenal rekan-rekan yang lain. Dari sisi pekerjaan, mereka bekerja dalam bidang-bidang yang berbeda. Hanya ada dua orang yang berprofesi sebagai dosen. Sisanya adalah profesional pada lembaga amal/filantropi nasional dan internasional. Ada beberapa orang penulis yang telah berhasil menerbitkan buku dan novel, ada yang mengelola salah satu pesantren tertua di Indonesia, berlokasi di Madura. Ada pula guru dan pemilik sekolah, hingga pengusaha. Setidaknya ada dua hal yang menyamakan seluruh anggota delegasi, mereka aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan mahir berbahasa Inggris. Satu lagi yang sama: semuanya memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan ramah dalam berinteraksi.
Jadwal penerbangan antar benua kali ini cukup ramah. Ketika pesawat take-off, mata memang sudah sangat mengantuk. Jadi saya tidak perlu memaksa-maksa badan yang memang sudah lelah untuk tidur. Apalagi setelah landing nantinya, hanya ada dua jam waktu untuk istirahat, sebab pertemuan pertama telah diagendakan.Saya baru terbangun saat bersit cahaya masuk lewat jendala. Ternyata di luar sana ada pemandangan yang megah. Posisi pesawat memungkinkan saya untuk melihat timur dan barat hanya dengan sekali lengah. Di arah timur tampak mentari sudah mulai terbit, sedangkan di barat langit masih hitam. Benar rupanya, siang dan malam itu adalah pasangan yang hidup berdampingan. Tak diragukan lagi, ini termasuk salah satu momen bangun tidur terbaik yang pernah ada.
Setelah pesawat landing di Kingsford Smith Sydney menjelang pukul 12 siang, kami disambut cuaca cerah dan seseorang bernama Rowan Gould. Diantar ke sebuah hotel di jantung kota Sydney, check in, makan siang sebentar, lalu turun ke bawah, naik bus, dan menjelang pukul dua sudah berada di sebuah gedung. Ia beralamat di 56 Station Street, terletak sebuah kota kecil bernama Paramatta yang berlokasi di sebelah barat Central Sydney. Betul-betul jam-jam awal yang intens. Siapa Rowan Gould? Nanti saya ceritakan.Tujuan kami adalah sebuah kantor yang bernama “Multicultural NSW”. NSW adalah singkatan dari New South Wales, yaitu negara bagian yang mana Sydney menjadi pusatnya. Multicultural NSW adalah agensi pemerintah yang bertanggung jawab untuk mempromosikan dan memantau implementasi apa yang mereka sebut sebagai multicultural principles atau prinsip-prinsip multikultural.
Ternyata NSW adalah negara bagian yang sangat multikultural. NSW menjadi tujuan utama para imigran yang masuk ke Australia, utamanya pasca perang dunia ke II. Dan arus imigrasi itu masih berlangsung hingga hari ini seiring dengan kebijakan pemerintah Australia yang cukup terbuka akan kedatangan imigran, bahkan juga pengungsi. Sebagai hasil dari imigrasi tersebut NSW sekarang memiliki setidaknya 123 jenis bahasa dan dialek. Inggris diposisikan sebagai bahasa persatuan atau lingua franca.Kata Malcolm Haddon, salah satu direktur yang menjadi narasumber diskusi siang itu, fakta multikultural di NSW adalah kekayaan yang mesti dijaga. Keberagamaan bahasa, misalnya, harus dilestarikan. Karena menurutnya, itu membuat NSW dapat dengan mudah menjalin kontak ekonomi dan budaya dengan berbagai tempat di seluruh dunia. “Multilingual is (also) economic asset for the state” kata Dr. Malcolm.Salah satu upaya untuk menjaga keragaman multilingual itu, Multicultural NSW memastikan materi-materi informasi untuk publik dapat diterjemahkan ke seluruh bahasa yang ada. Menurut annual report yang mereka terbitkan, layanan penerjemahan itu disediakan juga dalam bentuk face-to-face translation service (terjemahan langsung) dan telephone interpreting service (terjemahan lewat telefon). Orang Arab dan Mandarin adalah dua kelompok yang paling banyak menggunakan jasa ini. Orang Indonesia tidak termasuk dalam 10 pengguna terbanyak. Pengguna bahasa Thailand adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang masuk list 10 besar pengguna layanan ini.Semua manusia yang berbicara dengan setidaknya 123 bahasa tersebut adalah warga negara Australia. Bagi saya pribadi ini adalah sebuah “kejutan”, sebab imajinasi tentang WN Australia adalah mereka yang berkulit putih, yang oleh orang-orang kita biasa disebut dengan istilah “bule”. Bukannya tidak tahu fakta bahwa WN Australia tidak mesti bule, tapi langsung mendengar penjelasan seperti ini memunculkan jenis kejutan yang berbeda.
Jika kita mengenal istilah pribumi, maka pribumi asli Australia adalah orang-orang Aborigin, yang mana jumlah pendatang pada hari ini jauh mengungguli mereka. Siapa orang Australia itu? Begitulah pertanyaan rektoriknya. Dr. Malcolm memaparkan bahwa 29.3% warga negara Australia lahir di luar negeri. Lalu setidaknya 50,3% memiliki orang tua yang lahir di luar negeri. Orang-orang ini tetap menyatakan dirinya sebagai WN Australia.Tentang kehidupan beragama di Australia. Dr. Malcolm menyebutkan bahwa semakin banyak orang yang menyatakan diri tidak beragama. Jumlahnya mencapai 33.4% hari ini. Akan tetapi itu bukan berarti semuanya adalah atheist. Sebagian mereka hanya mempercayai adanya Tuhan tanpa mau menganut agama tertentu. Ada kabar baik dari sisi umat Islam, diakui bahwa Islam adalah agama yang paling cepat perkembangannya di Australia. Sama seperti penjelasan di kantor kedutaan besar sehari sebelumnya juga beberapa penelitian ilmiah, faktor paling besar yang membuat Islam menjadi sangat berkembang di Barat adalah imigrasi dan tingkat kelahiran. Tentu saja umat Islam Australia harus membuktikan bahwa keberadaan mereka membuat Australia semakin berkemajuan.
Kesan saya pribadi dari pertemuan itu, Pemerintah NSW benar-benar melihat fakta multikultural di negara bagian mereka sebagai khazanah yang harus ditata dengan sebaik-baiknya. Pendekatan yang digunakan adalah merawat perbedaan tersebut dan menganggapnya sebagai kekayaan budaya dan aset ekonomi yang menjadi faktor fundamental pembangunan di sana. Tentang hal ini, Dr Malcolm dengan bangga menyatakan bahwa NSW “is the most diverse country in terms of cultural diversity”Ungkapan itu tampaknya tidak berlebihan kiranya. Sejak turun dari pesawat dan melewati proses kedatangan di bandara, melihat orang lalu lalang, saya sangat merasakan kentalnya fakta multikultural yang terawat ini. Wajah-wajah petugas menunjukkan mereka berasal dari berbagai latar belakang bangsa yang berbeda. Seorang wanita yang bekerja di imigrasi Australia, juga terlihat nyaman bekerja dan berinteraksi kendatipun menggunakan jilbab dan memiliki paras Timur Tengah.
Di akhir diskusi, saya sempat berkomentar bahwa apa yang dilakukan oleh NSW lewat Multicultural NSW adalah pekerjaan besar. Mereka tengah membentuk identitas Australia masa depan, dengan cara mengelola perbedaan yang ada untuk tidak menjadi sumber konflik.Pertemuan pun sampai pada ujungnya, saatnya foto bersama. Eh, ada seteguk lagi kopi dalam gelas, sayang jika tidak dihabiskan sampai tandas. (***)