Oleh: Isral NaskaDosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Delegasi AIMEP (Australia Indonesia Muslim Exchange Program)
Setelah tuntas diskusi di Benevolence, rombongan bertolak ke titik selanjutnya. Ini adalah kunjungan terakhir kegiatan AIMEP di Melbourne sekaligus Australia. Tujuan kali ini adalah sebuah firma arsitektur beralamat di Jhonston St, Collingwood. Saya rasa perjalanannya tidak sampai satu jam dari Benevolence. Firma itu sendiri punya nama yang cukup unik: Blur Architecture. Kata “blur” sendiri sesuatu yang samar dan kurang jelas. Kenapa kata ini dipilih?Seperti apakah studio sebuah firma arsitektur? Kenapa diberi nama Blur? Siapa Ahmad Osman pemilik Blur yang disebut-sebut mendesain Islamic Museum Australia?
Kejutan pertama adalah ketika sampai di lokasi. Ternyata studio Blur Architecture adalah bangunan sempit tingkat tiga. Bangunan itu adalah tipikal gedung yang bakal mudah dilupakan, sebab selain terlihat sempit dan terjepit, juga tidak ada hal-hal khusus yang memaksa orang ingat kepadanya. Jika bangunan seorang manusia, maka dia adalah seorang rakyat jelata yang biasa ditemui di pasar-pasar. Saya juga tidak ingat, di sana ada plank nama.Akses masuk ke bangunan sempit itu adalah sebuah pintu seperti pintu rumah biasa. Lalu kami naik ke lantai dua. Di sana ada satu ruang pertemuan, dan tentunya sempit. Sebagian rombongan tinggal di sana, sebagian lainnya terus naik ke lantai tiga. Saya termasuk yang tinggal di lantai dua.
Di dinding tersusun rapi efektif sampel-sampel material dekoratif bangunan. Ada yang untuk dinding, pagar, lantai, atap dan lain sebagainya. Di ruang pertemuan yang sempit itu telah menunggu seorang pria bernama Khaled Bouden. Pria keturunan Timur Tengah ini rupanya adalah salah satu figur kunci di balik Blur Architecture. Khaled bukan sembarang arsitek. Ia baru saja menyelesaikan PhD dalam bidang ini.Sebagai seorang PhD, Khaled sangat antusias menjelaskan filsafat di balik Blur Architecture. Menurut Khaled, firmanya terinspirasi dari salah satu feature arsitektur yang banyak dipraktekkan pada era keemasan Islam. Ia menjelaskan bahwa sudut-sudut bangunan yang tidak ramah dilihat mata, kerap disamarkan oleh ornamen-ornamen atau detail-detail yang dibuat secara kreatif. Menurutnya, teknik blur juga menghilangkan sekat-sekat psikologis. Ia menjelaskan bahwa arsitektur mestinya dimanfaatkan sebagai alat untuk meningkatkan spritualitas dan koneksi sosial.
Salah satu proyek yang tengah mereka garap adalah mendesain sebuah masjid. Idenya cukup menantang. Yaitu bagaimana bentuk masjid itu membuat orang secara psikologis tertarik untuk menghampirinya lalu shalat di dalamnya. Untuk tujuan itu, mereka melakukan elaborasi ide yang mencakup tidak hanya bentuk bangunan masjid, tapi juga fasilitas pendukung hingga konsep tata ruang. Tidak mengherankan jika di sekitar masjid mereka membuat beberapa decoy (pancingan), seperti kafe dan sarana bermain. Jadi masjid menjadi satu dengan apa yang ada di sekitarnya.Bagi mereka arsitektur adalah salah satu cara memperkenalkan nilai-nilai Islam dengan cara yang halus. Itu tidak hanya mereka terapkan dalam tataran idealisme, tapi juga dalam implementasi. Ketika kami naik ke lantai tiga, di sana terdapat ruang kerja yang terdiri dari beberapa komputer. Tidak semua ahli di sana yang beragama Islam. Tentu bagi pekerja tersebut memiliki bos seperti Khaled (direktur) dan Ahmad (owner) adalah salah satu pengalaman untuk mengenal Islam. Mereka berdua terlihat tidak menyembunyikan identitas sebagai Muslim. Apalah Ahmad, senantiasa menggunakan peci haji dengan jenggot tebal di muka.Tentu saja idealisme Blur Architecture juga berimbang dengan aspek bisnis. Mereka terbuka untuk hampir semua order untuk mendesain bangunan. Sepanjang memungkinkan, mereka akan mengimplementasikan idealisme mereka dalam pembuatan bangunan tersebut.Arsitektur beserta nilai yang ada di baliknya selalu menarik. Namun yang lebih menarik di sini adalah bagaimana satu dua orang Muslim terdidik dapat memperkenalkan Islam lewat bidang ini. Semoga Blur Architecture bertahan sepanjang masa.
Menjelang maghrib, kami sudah kembali ke hotel. Ternyata di sana sudah berkumpul belasan alumni AIMEP lintas tahun dari kalangan WN Australia. Sebagian besar adalah warga Melbourne. Sebagian lagi adalah warga Sydney. Mereka sengaja berkumpul untuk mempersembahkan acara perpisahan untuk kami, peserta AIMEP dari Indonesia. Maklum, itu adalah hari terakhir dan esok pagi-pagi sekali sebagian sudah memilih pulang langsung. Sebagian memutuskan tinggal beberapa hari lagi.Acara perpisahan itu sangat sederhana namun bermakna. Bintang pada acara itu adalah Brynna. Semua orang memberikan selamat kepada istri Rowan Gould itu, atas keberhasilannya melaksanakan AIMEP tahun ini. Sebenarnya mungkin tiap tahun mereka berdua, suami dan istri itu berhasil mengelola AIMEP. Tapi kalau diperhatikan, mereka tidak hanya berdua. Selama kami di Melbourne, sang putri sulung, bernama Layla ikut turun tangan membantu ibunya. Remaja putri tingkat SMP itu sangat proaktif membantu kelancaran program di lapangan. Bahkan dia lah yang menghitung jumlah kami setiap naik bus, memastikan tidak ada yang tertinggal. Saya merasa lucu saja diatur oleh remaja bule berjilbab itu.
Kawan-kawan Australia sungguh murah hati. Mereka ternyata mempersiapkan beberapa souvenir untuk kami. Ada beberapa makanan kecil, aksesoris mungil, dan yang paling istimewa adalah sebuah kaligrafi. Tiap-tiap kami diberi hadiah sebuah kaligrafi Arab yang bertuliskan nama panggilan kami masing-masing. Dibuat oleh seorang alumni AIMEP warga Melbourne.Semua senang dan terharu. Ada satu orang yang “protes” kecil. Dia adalah Rowan, suami Brynna. Sambil tersenyum kecil melihat kaligrafi namanya, ia berkata: “nama saya dalam bahasa Arab adalah Ridwan”. Rowan ke Ridwan, masuk akal juga. Ini teknik penamaan yang juga digunakan oleh Ajo Bule. Nama aslinya adalah Lucas, lalu dia memperkenalkan diri sebagai Lukman. Lihatlah, ia juga tampak bahagian dan terharu di sudut sana.
Begitulah hari acara AIMEP ditutup. Saya lelah setelah jadwal yang padat dan berpindah-pindah tempat, ditambah makan yang kurang dari biasanya. Namun yang pasti saya senang seperti semua orang. Semua orang terharu karena akan berpisah, saya pun demikian. Beberapa orang bahkan saling bertangisan.Ini adalah sebuah program yang memberikan banyak wawasan dan kebijaksanaan baru. AIMEP telah menjadi salah satu puzzle hidup. Sebuah perjalanan yang memberi banyak wawasan, dan saya beruntung mencatat banyak hal, supaya tidak hilang dalam rimba kelupaan.