Kopi dari daerah Marapi terutama dijual dengan nama “Rao-Rao”. Yang utama pasar kopi adalah: Rao-Rao, Pasir Lawas, Malintang, Sungai Tarab, Benteng Vander Cappelen, Salimpaoeng dan Tebat Patah. (W. K. HUITEMA dalam De Bevolkingskoffiecultuur Op Sumatra, 1935)
*****
Lereng Marapi, dekat Nagari Rao-Rao, melandai sampai ke kuduk gunung. Seorang fotografer bernama Sladdert, mengabadikan sesudut kebun kopi di sana. Terlihat kopi tumbuh subur, usianya mungkin lebih dari setahun. Di antara pohon-pohon kopi berdiri seorang pria yang klimis, dengan rambut pendek disisir ke belakang. Pria itu berpakaian serba putih. Berbaju, sepertinya gunting cina, berlengan panjang. Di antara deretan lurus pohon kopi, ada beberapa batang kayu tinggi. Daun kopi dari dahan terpanjang di bagian bawah, mencecah tanah. Sebagian kopi telah tumbuh, hampir dua kali tinggi pria klimis itu. Jarak antara pohon dan pohon lebih sehasta, yang tanahnya dijaga bersih. Tentu oleh fotografer pria klimis itu disuruh berdiri di lokasi yang bagus, menggambarkan kopi tumbuh dengan subur, tapi belum satu batangpun yang berbuah. Foto itu diberi judul, “Centrum Merapi: jaar oude eenstammig gehouden Robusta-tuinen in wiid nlantverband onder dadap-schaduw te Rao-Rao,” dimuat dalam De Bevolkingskoffiecultuur Op Sumatra, 1935.
Kala itu, pemerintah Belanda sedang membangun jalan dari kota kecil yang di sana ada sebuah benteng. Nama kota diambil dari benteng itu, Vander Cappelen. Benteng seperti sangkar dari batu. Kelak kota ini bernama Batusangkar. Jalan dibangun menuju Fort de Cock, kaki gunung di sebelah lainnya. Itulah Bukittinggi. Pembangunan jalan itu, hampir selesai. Tapi, ini bukan soal jalan, melainkan ladang kopi cultuurstelsel, sebuah peraturan menyiksa, Tanam Paksa kopi di Minangkabau sejak 1847, atau 10 tahun sesudah Perang Paderi berakhir. Dan, 60 tahun kemudian, kebijaksaan menyiksa itu berakhir sudah, 1908.
Di dekat Rao- Rao itu ada salah satu ladang kopi. Kopi rubosta.
Rao-Rao menurut catatan menghasilkan kopi pada 1863 sampai 1871 sebanyak 3.735 pikul, tetangganya Salimpuang 2.579, Sungai Tarab 2.952 dan Supayang 2.754 pikul. Tapi, angka itu terus turun, sehingga pada 1888, Rao-Rao hanya menghasilkan kopi 1.920 pikul saja. Yang terbanyak pada periode itu memang Nagari Saning Bakar di Solok. Pada 1863 tercatat 10.359 pikul.Hasil kopi dicatat, tapi belum sampai ke kantor Gouvernement Sumatra’s Westkust di Padang. Sang Gubernur, Andreas Victor Michiels, sedang ke Buitenzorg, kota kecil nan dingin dekat Bandung, lantas kemudian bernama Bogor. Lagi pula, ia baru saja sukses, seperti jenderal yang berhasil menaklukkan sebuah pulau, yang prestasinya masih ia genggam: mengalahkan kaum Paderi. Nanti, beberapa tahun kemudian, sebuah tugu gagah dibangun di Padang. Diberi namanya, sebagai penghargaan untuk dia yang menang perang tersebut.
Para pemetik kopi, jika musim panen tiba, adalah para pria telanjang dada, beserta istrinya, beranak kecil atau bukan, tidaklah soal. Semua mereka harus datang ke ladang kopi, untuk memetiknya. Tiap batang kopi, diberi satu tangga yang disandarkan pada pokoknya. Bekerja dari pagi sampai siang, lalu makan dan lanjut hingga sore. Kopi dikumpulkan, lalu dibawa masing-masing ke pintu gudang. Pada ladang-ladang nan luas, kopi dibawa dengan pedati atau gerobak yang didorong para pria ke gudang. Satu kawasan ladang kopi yang besar dikepalai oleh seorang pakuis.
Pada saat yang hampir bersamaan, kopi telah diangkut ke Padang. Dengan pedati, kuda beban atau dengan apa saja. Kopi itu, dipetik oleh petani, di antara daun-daun yang rimbun. Lalu, disortir, dikirim ke gudang. Direndam, untuk memisahkan buah masak matang dengan yang rusak. Lalu disalurkan lewat pencuran ke bak yang lain, terpisahlah yang baik dan tidak. Tak lama kemudian akan disangrai, di atas perapian yang tinggi. Api tak sampai ke kopi yang ditebar rata di atas lantai besi berpori-pori, hanya uap panasnya. Di sini kopi akan berada dua hari dua malam yang tiap jamnya dibilak-balik oleh pria-pria tak berbaju, yang mesti kuat menahan panas, yang mesti kuat tenaganya, yang mesti puas dengan gajinya yang kecil, yang mesti takut pada mandor, yang mesti menunduk selama ia bisa ketika mandor datang. Melalui sejumlah proses yang jelimat sehingga terpisah kopi dan kulit arinya, maka kopi-kopi cantik sekeras kaca itu, akan sampai pada sebuah los atau gudang besar. Air biji kopi itu haus 12 persen, untuk mengujinya mesti digigit. Jika sudah tak pecah, maka sudah di posisi yang diinginkan. Kopi dikirim ke sebuah los, tepat kaum perempuan hamil, haid, tak mandi, tak berlaki, punya anak banyak, janda, baru menikah, nenek-nenek, yang pagi tadi ditampar lakinya, yang pekan lalu baru bercerai, yang lakinya mati terbunuh, tak peduli. Siapa saja, asal perempuan, akan duduk di atas bangku rendah, yang di depannya ada ayakan bulat dari kulit bambu, yang ia isi biji kopi dan kemudia disortir, memisahkan untuk terakhir kalinya, biji kopi kualitas terbaik dengan biji pecah, ampas kulit ari atau apa saja yang bukan kopi. Mereka bekerja diawasi terus-menerus. Beberapa pria pribumi, dengan sebuah tongkat kayu. Siap beraksi jika ada kesalahan.
Sore datang dengan bungkusnya, bergulir membawa angin dingin, maka ketika itu dimulailah kopi-kopi tadi dimasukkan ke dalam karung, untuk selanjutnya dijahit dan siap dikirim ke Padang. Disimpan di gudang di kawasan kota, bernama Muaro di tepi sebuah sungai bernama Batang Arau yang bermuara ke Samudera Hindia.