Sektor Transportasi Sumber Utama Defisit Transaksi Berjalan

Foto Defiyan Cori
×

Sektor Transportasi Sumber Utama Defisit Transaksi Berjalan

Bagikan opini
Ilustrasi Sektor Transportasi Sumber Utama Defisit Transaksi Berjalan

Kesadaran seluruh komponen pemangku kepentingan (multi stakeholders), bahwa Indonesia merupakan negara net importir migas mutlak dibutuhkan! Sebab kekurangan produksi Minyak dan Gas Bumi (migas) dan produk olahan kilang, yaitu Bahan Bakar Minyak (BBM) atas konsumsinya yang lebih besar (demand-supply gap) telah mengakibatkan persoalan serius yang berkelanjutan. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) telah mencoba mengatasi kekurangan produksi minyak mentah (crude oil) nasional dengan menetapkan sasaran sebesar 703.000 barel per hari (bph) atas kebutuhan minyak mentah Indonesia yang mencapai sekitar 1,4 juta bph. Alhasil, peningkatan produksi migas dan BBM sebagai produk olahan kilang tidak pernah mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Artinya, selalu terdapat selisih kebutuhan untuk konsumsi migas Indonesia tersebut yang mau tidak mau diatasi dengan melakukan impor sejumlah 700.000 bph.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor migas Indonesia sejak tahun 2019-2023 juga mengalami kenaikan signifikan. Pada tahun 2019, nilainya mencapai US$21.885,3 juta atau setara dengan Rp312,96 triliun (kurs US$1= Rp14.300) dan pada tahun 2022 telah mencapai US$40.416,4 juta yang nilainya setara Rp636,558 triliun (kurs US$1=Rp15.750). Artinya terdapat kenaikan jumlah US dollar yang dibutuhkan setiap adanya peningkatan jumlah impor migas yang akan menggerus devisa negara dan lebih banyak Rupiah yang harus disediakan. Sementara itu, Indonesia juga melakukan kegiatan ekspor migas yang pada tahun 2019 tercatat senilai US$11.789,3 juta atau setara dengan Rp168,59 triliun, sedangkan pada tahun 2022 senilai US$15.998,2 juta atau setara dengan Rp251,17 triliun.

Namun, permasalahan yang muncul ditengah publik kemudian, yaitu mengapa justru kebutuhan importasi semakin besar jumlah dan nilainya? Sektor manakah yang terbesar mengkonsumsi migas dan BBM yang membuat laju impor migas dan BBM tidak bisa dikendalikan? Apabila, konsumsinya terus menerus tidak bisa dipenuhi oleh produksi migas dan BBM di dalam negeri, maka (ditengah depresiasi Rupiah atas US dollar yang mencapai Rp16.450) nilai impor jelas semakin membengkak, yaitu bisa mencapai lebih dari Rp658 triliun dan berdampak pada defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) dan postur APBN. Lalu, pertanyaannya apa dan sektor mana saja yang menjadi penyebab konsumsi migas dan BBM melonjok serta mengakibatkan CAD melebar?

Berkaitan dengan itu, ada baiknya memperhatikan data jumlah total kendaraan bermotor menurut Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia (Korlantas Polri) pada bulan September Tahun 2021 yang berjumlah 143.340.128 unit. Dan, dari total jumlah kendaraan bermotor tersebut jenis sepeda motor merupakan yang terbesar yaitu 122.269.129 unit atau porsinya sebesar 85,3 persen. Sementara, jumlah kendaraan umum seperti mobil penumpang hanya 14.914.534 unit (10,4%), kendaraan komersial 5.449.802 unit (3,8%) dan bus 217.791 unit (0,15%).

Dua tahun kemudian, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia yang aktif sampai periode 9 Februari 2023 telah mencapai 153.400.392 unit atau mengalami peningkatan sejumlah 10.060.264 unit (naik 6,5%). Angka tersebut mencakup 147.153.603 unit kendaraan pribadi yaitu 127.976.339 unit sepeda motor (87%) dan 19.177.264 mobil pribadi, selain itu merupakan angkutan barang dan orang, yaitu 5,7 juta unit mobil besar, 213.788 unit bus, dan 85.113 unit kendaraan khusus. Artinya, terdapat kenaikan jumlah kendaraan bermotor, khususnya kendaraan pribadi dan sepeda motor yang signifikan mempengaruhi jumlah dan pola konsumsi BBM secara rata-rata nasional.

Peningkatan jumlah kendaraan bermotor pribadi sebesar 6,5 persen tersebut jelas membutuhkan tambahan pasokan kebutuhan BBM. Data ini terkonfirmasi dalam 'Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022', yang menunjukkan bahwa impor produk kilang seperti BBM mengalami kenaikan sebesar 12,6% dalam periode 2019-2022. Pada tahun 2019 impor produk olahan kilang hanya tercatat sejumlah 24,73 juta kl, sedangkan tahun 2022 impor BBM telah sejumlah 27,86 juta kilo liter (kl). Dengan demikian, terdapat kenaikan impor produk BBM sejumlah 3,13 juta kl yang menguras devisa negara sejumlah Rp324 lebih sebagai dampak depresiasi mata uang Rupiah terhadap US dollar.

Akibat selisih kurs Rupiah terhadap US dollar, BPS telah mencatat sampai bulan Maret 2024 impor migas dan BBM telah mencapai 4,66 juta kl. Jumlah impor ini mengalami peningkatan dibanding bulan Februari 2024 yang hanya sejumlah 4,29 juta kl. Jika angka ini konstan diperkirakan impor migas dan BBM pada bulan Juni 2024 bisa mencapai kurang lebih 15 juta kl. Data ini membuktikan, bahwa penyebab defisit transaksi berjalan (CAD) sehingga munculnya kebijakan importasi migas dan BBM adalah sektor transportasi. Kontribusi sektor transportasi ini menurut data Bank Indonesia pada bulan Mei 2024 dalam membentuk defisit transaksi berjalan mencapai 79 persen.

Oleh karena itu, publik meminta kepada Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin yang pro rakyat segera menuntaskan permasalahan dampak mengganda (multiplier effect) impor migas yang telah mencapai 15 persen (Provinsi Jawa Timur sampai 25% lebih) dari total impor nasional (85% non migas) yang berdampak pada stabilitas keuangan BUMN Pertamina dan APBN. Bagaimana menurut Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Bapak Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo cara mengatasinya?

Bagikan

Opini lainnya
Terkini