Demikian tuan, sungai mengalir
Dari mudik terus ke hilir
Berapa buah kran yang hadir
Air membasut seperti banjir (Berita Kota Gedang, Februari 1933)
Hampir seabad usia waterleiding (baca: pipa air) di ranah kelahirannya Haji Agus Salim, Nagari Koto Gadang Kabupaten Agam, Propinsi Sumatra Barat. Tepatnya pada 30 Januari 1933, pekerjaan besar yang dibiayai oleh masyarakat Koto Gadang, terakhir diselesaikan melalui dana pemerintah afdeeling Agam itu pun diresmikan.
Bermula dari Kebutuhan Air BersihNagari Koto Gadang di masa Kolonial Belanda berada di bawah Onderdistrict IV Koto, afdeeling Agam. Di negeri inilah kampung halaman dari orang-orang besar di pentas pegerakan nasional, semisal Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, A. Karim, Djamaluddin Tamim, Jahja Datuk Kajo, Roehanna Koeddoes, dan lainnya.
Kisah waterleiding bermula dari tingginya kebutuhan masyarakat untuk memperoleh air bersih di Nagari Koto Gadang. Berbagai upaya telah mereka tempuh sebelum tahun 1918, untuk mengalirkan sumber air yang berada di kaki Gunung Singgalang.
Melalui ide yang digulirkan seorang demang Pajacombo asal Koto Gadang bernama Jahja Datuk Kayo, dimulailah pekerjaan besar tersebut. Pekerjaan waterleiding itu dimulai pada 9 Juli 1918. Sasaran sumber airnya adalah Bulakan Batupai 1.054 dpl– yang terletak di kaki Gunung Singgalang. Jarak sumber air ini dari Koto Gadang adalah 4,5 kilometer.
Sejak dilaksanakan pada pertengahan tahun 1918, semua warga Koto Gadang maupun yang di rantau, beriuran untuk membiayai pembangunannya. “Anak negeri semuanya mau dan suka mengeluarkan uang” – demikian Berita Kota Gedang memberitakannya. Sampai tahun 1919, keseluruhan uang yang terkumpul baik dari negeri maupun rantau adalah f 3000 (baca: tiga ribu gulden).