Di negeri yang katanya demokratis ini, jurnalis ternyata masih dianggap lebih berbahaya dari koruptor. Koruptor bisa mendapatkan potongan hukuman, remisi, atau bahkan diangkat jadi komisaris BUMN. Sementara jurnalis? Mereka bisa mendapat ancaman, penganiayaan, tuntutan hukum, atau kiriman kepala babi ke kantornya.
Ya, Tempo —salah satu media paling keras kepala di Indonesia— baru saja mendapat "hadiah" berupa kepala babi dengan telinga yang sudah dipotong. Bukan yang pertama, tentu saja. Harian Suara Indonesia bahkan pernah dikirimi kepala manusia pada November 1984. Tapi mungkin saja ini hanya kesalahan ekspedisi?
Sayangnya, kita semua tahu ini bukan sekadar salah kirim. Ini pesan intimidasi yang kuno tapi tetap efektif: tutup telinga, atau dipotong seperti babi ini. Tutup mulut, atau hadapi konsekuensinya. Jurnalis yang sudah kenyang pengalaman tahu bahwa ini bukan sekadar urusan kuliner. Ini pesan klasik: “Hati-hati, atau sesuatu yang lebih buruk menanti.”
Yang lebih konyol, ini bukan pertama kalinya media di Indonesia mengalami teror. Setiap kali ada pemberitaan yang terlalu kritis, selalu ada cara untuk membungkamnya. Mulai dari ancaman langsung, tuntutan hukum yang absurd, pemutusan iklan, hingga kekerasan fisik, bahkan pembunuhan.
Tentu, Tempo bukan satu-satunya korban. Di berbagai belahan dunia, jurnalis selalu berada dalam daftar "spesies yang terancam punah." Sejak 1994 hingga April 2024, menurut _Committee to Protect Journalists_ (CPJ), setidaknya 1.471 jurnalis terbunuh saat menjalankan tugasnya.
Di Indonesia, menurut data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang 2023 saja terjadi 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Bentuknya macam-macam, mulai dari intimidasi, peretasan, hingga kekerasan fisik.Sementara itu, _Reporters Without Borders_ mencatat 1.705 jurnalis dan pekerja media tewas dalam periode 1994–2024. Ironisnya, sembilan dari sepuluh kasus pembunuhan jurnalis dibiarkan tanpa penyelesaian. Mungkin karena pelakunya terlalu sibuk membaca berita pagi sambil menikmati kopi.
Namun, kekerasan terhadap jurnalis tidak selalu berbentuk pembunuhan. Di medan perang, ratusan jurnalis tewas. Tapi kini ada metode yang lebih modern dan lebih... digital. _Doxxing,_ peretasan, dan serangan bot di media sosial sudah jadi makanan sehari-hari wartawan.
Jurnalis perempuan bahkan lebih sering menjadi sasaran: 73% dari mereka mengalami kekerasan online —mulai dari ancaman pemerkosaan hingga fitnah yang lebih kreatif daripada sinetron Indonesia. Dan jangan lupa, mereka yang bertahan dari serangan digital sering kali menghadapi teror nyata di dunia fisik.
Sementara itu, di Indonesia, AJI dan _International Media Support_ (IMS) sejak 2022 telah mengembangkan piranti penilaian risiko bagi jurnalis. Termasuk modul keselamatan bagi jurnalis lingkungan, karena meliput perusakan hutan atau tambang ilegal kini sama bahayanya dengan meliput perang.