Pemimpin Bisa Salah, Civil Society tak Boleh Bungkam

Foto Oleh: Dony P. Herwanto
×

Pemimpin Bisa Salah, Civil Society tak Boleh Bungkam

Bagikan opini
Ilustrasi Pemimpin Bisa Salah, Civil Society tak Boleh Bungkam

Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol pada 4 April 2025 menandai babak krusial dalam dinamika demokrasi Asia Timur. Di tengah merosotnya kepercayaan terhadap elite politik, warga Korea Selatan membuktikan bahwa partisipasi sipil yang terorganisir mampu menjadi penyeimbang konkret terhadap kekuasaan yang menyimpang. Ini bukan sekadar kemenangan hukum, tapi kemenangan warga negara atas upaya delegitimasi demokrasi. Momentum ini pun memaksa kita di Indonesia untuk bercermin: apakah masyarakat sipil kita cukup tangguh untuk menjadi kekuatan korektif yang nyata, atau justru masih terpinggirkan dalam bayang-bayang oligarki dan polarisasi?

Filsuf Jerman, Jürgen Habermas, dalam teorinya mengenai public sphere, menyatakan bahwa demokrasi deliberatif hanya dapat berjalan bila warga negara memiliki ruang bebas untuk berdiskusi, menyampaikan pendapat, dan membentuk opini publik secara rasional. Ruang publik ini tidak bersifat formal seperti parlemen, tetapi justru tumbuh di tengah masyarakat: lewat media, komunitas, kampus, organisasi sosial, dan media sosial. Di sanalah civil society menemukan bentuk dan fungsinya—menjadi kekuatan korektif terhadap kekuasaan negara.

Dalam konteks Korea Selatan, konsep ini bukan sekadar teori. Ia hidup dan bekerja nyata. Ketika dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran etika publik dilakukan Presiden Yoon, warga negara merespons tidak dengan kekerasan, tetapi dengan demonstrasi damai, kampanye digital, investigasi jurnalis, dan desakan hukum yang akhirnya menjalar ke parlemen dan Mahkamah Konstitusi.

Krisis politik di Korea Selatan bermula pada 3 Desember 2024, ketika Presiden Yoon secara mengejutkan menyampaikan pidato di televisi yang mengumumkan status darurat militer. Ia menuduh pihak oposisi di Majelis Nasional terlibat dalam aksi-aksi yang dianggap mengancam negara. Dalam waktu singkat, ia mengerahkan militer bersenjata ke gedung parlemen, membatasi aktivitas politik, serta mengendalikan media massa—tindakan yang memunculkan bayang-bayang masa kediktatoran militer sebelum era demokratisasi tahun 1987.

Enam jam kemudian, deklarasi tersebut dicabut setelah parlemen menolaknya secara tegas, didukung oleh 190 dari total 300 anggota. Gelombang protes dari masyarakat serta tekanan kuat dari oposisi pun terus meningkat, hingga akhirnya berujung pada pemakzulan Presiden Yoon oleh parlemen.

Keberhasilan parlemen dan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dalam menjatuhkan presiden yang dinilai otoriter menjadi bukti kuat bahwa institusi-institusi demokrasi di negara itu masih kokoh. Seperti yang terjadi saat pemakzulan Park Geun-hye pada 2017, Korea Selatan kembali menunjukkan efektivitas sistem checks and balances dalam merespons pelanggaran konstitusi. Putusan bulat dari Mahkamah Konstitusi—meskipun hanya melibatkan delapan hakim akibat kekosongan tiga kursi—mencerminkan independensi lembaga tersebut serta komitmennya terhadap penegakan hukum dan prinsip supremasi hukum.

Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol menjadi bukti bahwa komunikasi politik bukan sekadar alat kampanye, melainkan instrumen utama dalam konsolidasi kekuasaan dan perlawanan terhadapnya. Dalam kerangka teori agenda-setting (McCombs & Shaw), media memiliki kuasa besar untuk menentukan isu mana yang dianggap penting oleh publik. Ketika deklarasi darurat militer Yoon disiarkan secara luas dan dikritik keras, media massa—baik arus utama maupun alternatif—menyematkan bobot krisis ini sebagai persoalan mendasar demokrasi.

Melalui framing theory (Entman), publik dibimbing untuk melihat tindakan Yoon bukan sebagai respons keamanan, tetapi sebagai ancaman terhadap prinsip konstitusional. Bingkai narasi seperti “kembalinya otoritarianisme” dan “pembangkangan terhadap demokrasi” menjadi dominan, menggiring opini publik ke arah tekanan politik yang masif dan terorganisir.

Tak dapat dilepaskan juga, peran tokoh publik, aktivis, jurnalis, dan intelektual dalam menginterpretasikan krisis ini menunjukkan relevansi teori two-step flow of communication (Katz & Lazarsfeld). Warga tidak semata-mata menerima pesan dari media secara langsung, tetapi melalui perantara opinion leaders yang dipercaya: figur dengan kredibilitas moral dan intelektual yang tinggi.

Di Korea Selatan, para pemimpin opini ini hadir melalui kanal YouTube, podcast, ruang diskusi kampus, dan bahkan media sosial. Mereka menyederhanakan isu, memberi konteks historis, dan mengajak publik memahami kompleksitas krisis secara kritis. Proses inilah yang memungkinkan mobilisasi besar-besaran di jalanan dan dunia digital, dengan kesadaran politik yang tinggi dan arah yang jelas. Tanpa keberadaan perantara informasi yang independen dan berpengaruh ini, publik mungkin akan terpecah, terombang-ambing oleh disinformasi, atau bahkan apatis terhadap krisis demokrasi.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini